Kewajiban amar ma’ruf Nahi Munkar
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari)
Tidak diragukan lagi bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah upaya
menciptakan kemaslahatan umat dan memperbaiki kekeliruan yang ada pada
tiap-tiap individunya. Dengan demikian, segala hal yang bertentangan
dengan urusan agama dan merusak keutuhannya, wajib dihilangkan demi
menjaga kesucian para pemeluknya.
Persoalan ini tentu bukan hal yang aneh karena Islam adalah akidah dan
syariat yang meliputi seluruh kebaikan dan menutup segala celah yang
berdampak negatif bagi kehidupan manusia.
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan amal yang paling tinggi karena
posisinya sebagai landasan utama dalam Islam.
Allah berfirman:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman,
namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (Ali Imran: 110)
Jika kita perhatikan dengan saksama, sebenarnya diutusnya para rasul dan
diturunkannya Al-Kitab adalah dalam rangka memerintah dan mewujudkan
yang ma’ruf, yaitu tauhid yang menjadi intinya, kemudian untuk mencegah dan menghilangkan yang mungkar, yaitu kesyirikan yang menjadi sumbernya.
Jadi, segala perintah Allah yang disampaikan melalui rasul-Nya adalah
perkara yang ma’ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah perkara
yang mungkar. Kemudian, Allah menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar ini
sebagai sifat yang melekat dalam diri nabi-Nya dan kaum mukminin secara
menyeluruh.
Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan
zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat
oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Siapa pun meyakini bahwa kebaikan manusia dan kehidupannya ada dalam
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan hal tersebut tidak akan
sempurna tercapai melainkan dengan adanya amar ma’ruf nahi mungkar.
Dengan hal inilah umat ini menjadi sebaik-baik umat di tengah-tengah
manusia.
Allah berfirman:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
mungkar….” (Ali Imran: 110)
Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang
memiliki kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang
lainnya terwakili. Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah.
Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu
dan tidak ada lagi yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi mengatakan,
“Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi wajib ‘ain bagi seseorang, terutama
jika ia berada di suatu tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenal
(ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika tidak ada yang dapat
mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat melihat anak,
istri, atau pembantunya, melakukan kemungkaran atau mengabaikan
kebaikan.” (Syarh Shahih Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar adalah
fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang
mampu dan tidak ada pihak lain yang menjalankannya.”
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz mengemukakan hal yang
sama, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak,
dan kebodohan mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka
dakwah (mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan umat dari kejelekan)
menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai dengan kemampuannya.”
Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian,
setiap orang wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Allah berfirman:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah
serta taatlah dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang
siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang yang
beruntung.” (at-Taghabun: 16)
Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat
dengan proses amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu
saja lebih mampu dibanding yang lain sehingga kewajiban mereka tidak
sama dengan yang selainnya.
Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib
bagi tiap-tiap individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu
kifayah. Inilah pendapat yang dipegangi mayoritas para ulama, seperti
al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar al-Jashash, Ibnul Arabi al-Maliki, Ibnu
Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah.
Allah berfirman:
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Nabi bersabda:
“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah
dengan tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum
mampu, dengan hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 70 dan lain-lain)
Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar
Allah menciptakan kita agar kita beribadah dan menjalankan ketaatan kepada-Nya sebaik mungkin.
Allah berfirman:
“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha
Pengampun.” (al-Mulk: 2)
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena
itu, harus dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi
amalan saleh yang diterima. Al-Imam Fudhail Ibnu Iyadh mengemukakan
bahwa suatu amalan meskipun benar tidak akan diterima jika tidak ada
keikhlasan, begitu pun sebaliknya. Keikhlasan berarti semata-mata karena
Allah, sedangkan kebenaran berarti harus berada di atas sunnah
Rasulullah.
Para penegak amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan memenuhi beberapa syarat berikut.
Syarat pertama: Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.
Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan
kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah
kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih
dominan daripada kebaikan yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar, ilmu yang harus
dimiliki meliputi tiga hal, antara lain: Mengetahui yang ma’ruf dan yang
mungkar serta dapat membedakan antara keduanya; Mengetahui dan memahami
keadaan objek yang menjadi sasarannya; serta mengetahui dan menguasai
metode atau langkah yang tepat dan terbaik sesuai dengan petunjuk jalan
yang lurus (ketentuan syariat).
Tujuan utamanya adalah supaya tercapai maksud yang diinginkan dari
proses amar ma’ruf nahi mungkar dan tidak menimbulkan kemungkaran yang
lain.
Syarat kedua: Lemah Lembut
dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar.
Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang
tidak mustahil apabila proses amar ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi
oleh kelembutan. Bukankah Nabi telah menyatakan dalam sabdanya:
“Sesungguhnya Allah Maha lembut dan menyukai sikap lemah lembut dalam
tiap urusan. Allah akan memberikan kepada sikap lemah lembut sesuatu
yang tidak akan diberikan kepada sikap kaku atau kasar dan Allah akan
memberikan apa-apa yang tidak diberikan kepada selainnya.” (HR. Muslim
“Fadhlu ar-Rifq” no. 4697, Abu Dawud “Fi ar-Rifq” no. 4173, Ahmad no.
614, 663, 674, dan 688, dan ad-Darimi “Bab Fi ar-Rifq” no. 2673)
Nabi juga bersabda:
“Tidaklah sikap lemah lembut itu ada dalam sesuatu, melainkan akan
menghiasinya, dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut dari sesuatu,
melainkan akan menghinakannya.” (HR. Muslim no. 4698, Abu Dawud no.
2119, dan Ahmad no. 23171, 23664, 23791)
Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah t mengatakan, “Tidak boleh beramar ma’ruf
dan bernahi mungkar selain orang yang memiliki tiga sifat: lemah lembut,
bersikap adil (proporsional), dan berilmu yang baik.”
Termasuk sikap lemah lembut apabila senantiasa memerhatikan kehormatan
dan perasaan manusia. Oleh karena itu, dalam beramar ma’ruf nahi mungkar
hendaknya mengedepankan kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau
kejelekan. Kecuali, mereka yang cenderung senang dan bangga untuk
menampakkan aibnya sendiri dengan melakukan kemungkaran dan kemaksiatan
secara terang-terangan. Sebab itu, tidak mengapa untuk mencegahnya
dengan cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya dengan
sembunyi-sembunyi, sungguh ia benar-benar telah menasihatinya dan
menghiasinya. Siapa yang menasihati saudaranya dengan terang-terangan
(di depan khalayak umum), sungguh ia telah mencemarkannya dan
menghinakannya.” (Syarh Shahih Muslim)
Syarat ketiga: Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan setelah beramar ma’ruf nahi mungkar.
Gangguan seolah-olah menjadi suatu kemestian bagi para penegak amar
ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, jika tidak memiliki ketenangan dan
kesabaran, tentu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar
daripada kebaikan yang diinginkan.
Al-Imam ar-Razi t menjelaskan bahwa orang yang beramar ma’ruf nahi
mungkar itu akan mendapat gangguan, maka urusannya adalah bersabar.
Al-Imam Ibnu Taimiyah juga mengemukakan bahwa para rasul adalah
pemimpin bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Allah telah
memerintah mereka semua agar bersabar, seperti firman-Nya:
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul
yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab
disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan,
merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang
hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan,
selain kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah l).” (al-Ahqaf: 35)
“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)
“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena
sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah
dengan memuji Rabbmu ketika engkau bangun.” (at-Thur: 48)
Allah juga menyebutkan wasiat Luqman kepada putranya dalam firman-Nya:
“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang
ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang
penting.” (Luqman: 17)
Seseorang yang beramar ma’ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan
dirinya sebagai penyampai kebenaran. Padahal tidak setiap orang ridha
dan suka dengan kebenaran. Oleh karena itu, ia pasti akan mendapat
gangguan, dan itu menjadi cobaan serta ujian baginya.
Allah berfirman:
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan
mengatakan, ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh,
Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti
mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang
dusta.” (al-‘Ankabut: 2—3)
Wal ‘ilmu ‘indallah.
sumber : Majalah Asy Syariah edisi 70